Siapkah Kita Mati?
aku sering merasa aneh dengan
orang-orang yang berkata “kasihan anak itu, masih anak-anak tapi udah
meninggal”, atau “susah-susah cari uang, akhirnya mati juga” atau
pernyataan-pernyataan sejenis yang berkaitan dengan kematian. dalam hati
aku berkata kasihan kalian, usia sudah berapa tapi tidak ingat mati.
mereka merasa kasihan dengan anak-anak yang sudah meninggal dunia,
padahal merekalah yang harusnya dikasihani. anak-anak yang masih belum
baligh belum punya dosa, jika pun mereka sudah baligh, jumlah dosanya
masih belum sebanyak orang dewasa (wallahu a’lam). tapi kita lihat
orang-orang yang dewasa, meski melakukan dosa sebanyak apapun, masih
teramat sangat sedikit yang melakukan taubat dan memperbaiki diri. jika
kita dijemput malaikat izrail apa yang akan kita bawa?
begitu pula dengan statement ke dua, “susah-susah cari uang, akhirnya mati juga”. kita hanya melihat dia mencari uang, tapi tahukah kita bagaimana ia membelanjakan uangnya? tak ada yang tahu berapa uang yang dia shadaqahkan dari hasil jerih payahnya. kemudian, siapa yang perlu kita kasihani, kita atau dia yang telah meninggal dengan membawa bekal harta shadaqah? di sisi lain, kita tidak mau dan bermalas-malasan mencari rejeki dengan alasan akhirnya akan mati juga, lalu apa gunanya kita diciptakan di bumi ini? apakah kita akan seperti si kakek penjaga surau sebagaimana kisah “rubuhnya surau kami”? lebih baik mati dalam keadaan kaya daripada mati dalam keadaan melarat. tapi, kekayaan itu bukan sekedar kaya harta tapi juga kaya hati, kaya pahala, kaya ilmu yang diajarkan.
begitu pula dengan statement ke dua, “susah-susah cari uang, akhirnya mati juga”. kita hanya melihat dia mencari uang, tapi tahukah kita bagaimana ia membelanjakan uangnya? tak ada yang tahu berapa uang yang dia shadaqahkan dari hasil jerih payahnya. kemudian, siapa yang perlu kita kasihani, kita atau dia yang telah meninggal dengan membawa bekal harta shadaqah? di sisi lain, kita tidak mau dan bermalas-malasan mencari rejeki dengan alasan akhirnya akan mati juga, lalu apa gunanya kita diciptakan di bumi ini? apakah kita akan seperti si kakek penjaga surau sebagaimana kisah “rubuhnya surau kami”? lebih baik mati dalam keadaan kaya daripada mati dalam keadaan melarat. tapi, kekayaan itu bukan sekedar kaya harta tapi juga kaya hati, kaya pahala, kaya ilmu yang diajarkan.
So......
Kapan Kita Siap Mati?..
Kelahiran
dan kematian ibaratkan dua sisi dari satu koin yang sama.. Kita tidak
dapat memilih salah satunya kemudian mengingkari yang lainnya. Setiap
ada kelahiran pasti ada kematian. Namun, respon kita tidak sama terhadap
dua hal itu. Kelahiran kita sikapi sebagai anugrah, suatu berkah yang
membuat kita senang, ketawa, bahagia,dan kita rayakan, sedangkan
kematian kita anggap sebagai bencana, malapetaka,dan dukacita yang
sering diratapi dan kalau dapat kita akan menghindarinya.
Kematian
itu pasti datang, dia akan menjemput setiap machluk hidup, suka atau
tidak suka, siap atau tidak siap. Mulai dari machluk yang sangat
sederhana sampai ke machluk yang paling sempurna. Kematian tidak
mengenal umur, kecil,muda atau tua. Kematian tidak mengenal tempat, di
gubuk yang reok, di gedung yang mewah, ditempat tidur yang empuk bila
sampai waktunya, bersembunyi di peti besi yang sangat tebalpun kematian
tidak dapat dielakkan. Maut akan menjemput para penguasa ditengah puncak
kekuasaanya, sebagaimana maut juga akan datang menjambangi rakyat
jelata dikancah penderitaannya.
Kapan
kita mati? Tidak seorangpun bisa menjawabnya, namun Nabi besar Muhammad
Rasulullah pernah ditanya oleh sahabat: ” apa yang paling dekat bagi
kita di dunia ini?” Jawabnya adalah “kematian” Walaupun kematian itu
pasti datang ,dia sangat dekat, kita juga tidak bisa menentukan kapan
waktunya kematian itu menjemput kita. Jangan disangka bahwa kalau kita
yang masih muda umur kita akan lebih panjang dari kakek/nenek yang sudah
renta, jangan juga mengira bahwa kita yang sudah tua pasti akan lebih
pendek umurnya dari seorang bayi yang baru saja melihat dunia. Banyak
dari mereka yang sudah sekarat di rumah sakit, yang menurut perkiraan
tidak berapa lama lagi akan direnggut nyawanya, lebih panjang umurnya
dari mereka yang kelihatan sehat dan bugar. Pernah saya melihat seorang
yang sedang menjenguk keluarganya yang sedang dirawat di ICU, tiba-tiba
meninggal, sementara yang sakit sembuh dan pulih kembali. Namun
demikian, anehnya kematian merupakan kepastian yang sering kita lupakan.
Padahal sebenarnya detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari kita
dengan sengaja melangkahkan kaki menuju liang lahat kematian, namun
kita seolah-olah tidak menyadarinya. Kita seperti tidak peduli. Kita
bersikap bagaikan mau hidup selamanya.
Mengapa
kebanyakan manusia bersikap seperti itu, seolah-olah tidak ingat mati
dan seperti akan hidup selamanya? Apakah karena cinta dunia? Apakah
karena tidak takut mati, atau tidak siap mati? Atau karena sangat takut
mati kemudian seolah-olah melupakannya?
Ada
kisah yang indah sekali tentang ketakutan akan kematian yang
diceritakan dalam buku:” menyalami samudra kebijaksanaan Sufi” karangan
Anand Krishna:
Seorang
Raja dijemput oleh Malaikat Maut,Dewa Pencabut Nyawa. Memang ajalnya
sudah tiba- ia sudah berusia 100 tahun. Namun sang Raja belum siap mati.
Ia masih ingin hidup,” Tolonglah-berikan aku perpanjangan hidup.” Dewa
Maut menyanggupi, tetapi ada syaratnya, “harus ada yang menggantikan
kamu.Harus ada yang mati untuk kamu. Kamu memilik begitu banyak anak.
Tanyakan kepada mereka, apakah ada seorang diantara mereka yang tela
mati demi perpanjangan umurmu.Dan si raja memanggil
putra-putranya.Konon, ia memiliki 100 prang putra. Maklum, seorang
memiliki beberapa istri-para permaisuri dan para selir. Ada yang sudah
berusia 60 tahun, bahkan 70 tahun. Di antara para putra raja, sudah ada
yang menjadi kakek, bahkan sudah punya cicit. Tetapi, tak seorangpun
yang sanggup jadi pengganti. Alasan mereka sama,”Ayahanda, kami masih
lebih muda,kami masih belum siap mati.”Bayangkan, sudah berusia 60
tahun, 70 tahun, tetapi belum siap mati, masih menganggap dirinya muda.
Konyol! Begitu pula sang raja, konyol juga. Sudah melewati usia 100
tahun, masih juga belum puas.
Satu per satu, setiap pangeran menolak jadi tumbal. Salah seorang pangeran yang masih berusia belasan tahun tidak ditanya, karena dianggap masih sangat muda. Yang berusia puluhan tahun saja menolak, apalagi yang masih berusia belasan tahun. Rupanya, pangeran yang satu ini justru sedang menunggu giliran. Karena tidak diperhitungkan, tidak ditanya, maka ia memberanikan diri maju ke depan,”Ayahanda Raja, saya bersedia menjadi pengganti Ayah.”Aneh,lucu-para putra raja terkejut. Sang Raja sendiri hampir tidak mempercayai telinganya,”Apa yang kau katakan nak? Kau masih sangat muda. Kau masih belum melihat dunia ini. Kau masih belum menghidupi kehidupanmu.” Sang pangeran menjawab, “setelah mendengar kakak-kakakku tadi , saya baru sadar bahwa tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh dari hidup ini. Yang berusia 70 tahun masih juga belum merasa cukup hidup, masih saja merasa belum puas, seperti yang berusia 20 tahun, seperti Ayah sendiri yang sudah berusia 100 tahun. Kesimpulan saya adalah bahwa dunia ini, kehidupan ini, tidak dapat memuaskan kita. Betapapun panjang umur kita, berapapun usia kita, dunia ini, kehidupan ini, akan tetap mengecewakan kita. Saya baru sadar, apabila Ayah yang telah hidup 100 tahun pun belum merasa cukup hidup, maka apa pula jaminan bahwa saya akan merasa cukup hidup? Dan apabila tidak ada jaminan demikian, apa bedanya mati sekarang atau mati nanti? Mati sekarang dalam keadaan “belum cukup hidup”. Mati nanti pun dalam keadaan ‘belum cukup hidup’ Saya sungguh tidak keberatan menjadi pengganti Ayah.
Memang
kalau ditanyakan kepada siapapun, “ apakah dia sekarang sudah siap
untuk dicabut nyawanya, siap untuk meninggal?”,,, saya kira tidak
seorangpun yang akan memnjawab “ya” atau “siap”. Aneh, kematian yang
pasti datang, yang pada dasarnya kita tunggu,, yang langkah demi langkah
kita setiap saat menuju liang kubur, namun kita tidak pernah siap atau
mempersiapkannya……Satu per satu, setiap pangeran menolak jadi tumbal. Salah seorang pangeran yang masih berusia belasan tahun tidak ditanya, karena dianggap masih sangat muda. Yang berusia puluhan tahun saja menolak, apalagi yang masih berusia belasan tahun. Rupanya, pangeran yang satu ini justru sedang menunggu giliran. Karena tidak diperhitungkan, tidak ditanya, maka ia memberanikan diri maju ke depan,”Ayahanda Raja, saya bersedia menjadi pengganti Ayah.”Aneh,lucu-para putra raja terkejut. Sang Raja sendiri hampir tidak mempercayai telinganya,”Apa yang kau katakan nak? Kau masih sangat muda. Kau masih belum melihat dunia ini. Kau masih belum menghidupi kehidupanmu.” Sang pangeran menjawab, “setelah mendengar kakak-kakakku tadi , saya baru sadar bahwa tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh dari hidup ini. Yang berusia 70 tahun masih juga belum merasa cukup hidup, masih saja merasa belum puas, seperti yang berusia 20 tahun, seperti Ayah sendiri yang sudah berusia 100 tahun. Kesimpulan saya adalah bahwa dunia ini, kehidupan ini, tidak dapat memuaskan kita. Betapapun panjang umur kita, berapapun usia kita, dunia ini, kehidupan ini, akan tetap mengecewakan kita. Saya baru sadar, apabila Ayah yang telah hidup 100 tahun pun belum merasa cukup hidup, maka apa pula jaminan bahwa saya akan merasa cukup hidup? Dan apabila tidak ada jaminan demikian, apa bedanya mati sekarang atau mati nanti? Mati sekarang dalam keadaan “belum cukup hidup”. Mati nanti pun dalam keadaan ‘belum cukup hidup’ Saya sungguh tidak keberatan menjadi pengganti Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar